Anak Kost Pemerintahan Indonesia (Pandangan Tentang Otonomi Daerah )
Menatap mata untuk ke depan. Menapakkan kaki di Universitas Gadjah Mada dengan jurusan Administrasi Negara. Merupakan hal baru. Kost adalah pilihan paling mudah untuk mahasiswa dari luar kota. Kemandirian merupakan ciri khas dari anak kost. Dengan kondisi finansial yang tergantung latar belakang keluarga. Anak kost berjuang mempertahankan hidup. Mengatur kondisi ekonomi yang efektif dan efisien. Mungkin bagi mahasiswa yang berlatar belakang keluarga menengah ke-atas bukan lah masalah. Dengan yang tidak sedikit dari mereka bergaya hidup hedonisme. Namun, bagi mahasiswa yang berlatar belakang menengah ke bawah. Tentunya perlu strategi untuk mengatasi finansial mereka. Jika mereka bergaya hidup hedonisme maka kekacauan akan datang.
Kali ini saya tidak akan membahas tentang kehidupan anak kost. Tapi saya akan membahas pemerintahan Indonesia dengan kebijakan otonomi daerahnya. Dengan keanekaragaman Indonesia, saya akan mencoba mengulas tentang kebijakan otonomi daerah tanpa bermaksud menyinggung masalah SARA.
Beberapa waktu belakangan semenjak bergulirnya gelombang reformasi, otonomi daerah adalah satu topik sentral yang banyak dibicarakan. Baik oleh kalangan akademis, pelaku ekonomi , bahkan masyarakat awam. Semua memberikan banyak komentar dan pandangan.
Sebenarnya otonomi daerah bukanlah hal yang baru di Indonesia. Sejak awal kemerdekaan sampai sekarang sudah ada lebih dari satu peraturan yang mengatur tentang kebijakan otonomi daerah. UU No 1 tahun 1945 menganut sistem otonomi daerah rumah tangga formil. UU No 22 tahun 1948 memberikan hak otonomi yang seluas-luasnya kepada derah. Selanjutnya UU No 1 tahun 1957 menganut sistem ekonomi ril yang seluas-luasnya. Kemudian UU No 5 tahun 1974 menganut prinsip otonomi daerah yang nyata dan bertanggung jawab. Sedangkan saat ini, dibawah UU No 22 tahun 1999 kita menganut prinsip otonomi daerah yang luas, nyata dan bertanggung jawab. Namun, bagaimanakah penerapannya sekarang ?
Indonesia merupakan negara dengan suku,ras,dan agama yang beragam. Dari timur ke barat , utara ke selatan memilki ciri khas masing-masing dan kondisi bentang alam yang kompleks walaupun kondisi perekonomian Indonesia yang masih lemah . Bahkan satu daerah pun, memiliki logat yang berbeda. Keanekaragaman itu tentunya membuat pola pikir satu sama lainnya berbeda. Dan membuat pemerintah daerah dalam mengamalkan kebijakan otonomi daerah sangat kompleks. Kita bisa melihat Papua yang memiliki kekayaan alam yang sangat melimpah. Tanah digali menghasilkan uang karena didalamnya ribuan mineral terkandung. Usaha kelapa sawit dengan lahan yang tak kalah luas.Namun, bagaimanakah kondisi kesejahteraan masyarakat Papua?
Sumber Daya Manusia sangatlah berperan dalam memainkan daerah. Dengan keterbatasan Indonesia, daerah dituntut untuk kreatif,inovatif, dan mampu mengeluarkan kebijakan yang efisien dan efektif. Seperti anak kost dari kalangan menengah ke bawah yang dituntut mengelola keuangan mereka. Kita harus berkaca bahwa Negara kita memang masih kurang. Karena tak bisa di pungkiri kita bahwa Negara kita masih sangat bergantung pada modal asing. Faktanya dari Prof. Hertz, 100 pemegang terbesar kekayaan di dunia sekarang 49-nya adalah Negara dan 51-nya adalah Negara. Kekayaan Warren Buffet, orang terkaya dunia, jauh di atas APBN Indonesia. Sehingga , benar benar dibutuhkan Sumber Daya Manusia lokal yang mumpuni untuk memajukan daerah masing masing. Berasaskan kemandirian sesuai mana yang diharapkan dalam kebijakan Otonomi Daerah.
Saya akan lebih menegaskan bahwa betapa pentingnya sumber daya manusia sangat dibutuhkan dalam melaksanakan kebijakan otonomi daerah. Kita mungkin sering dengar kalau otak orang Indonesia itu mahal dan otak orang jepang itu murah karena lebih mahal. Orang Indonesia yang malas dan cenderung enak nya saja,dimanfaatkan oleh pihak asing untuk semakin memperkuat imperialisme modern di Indonesia. Contoh baru baru ini Amerika Serikat memberikan kucuran dana untuk otonomi daerah di Indonesia dan sangat mendukung kebijakan otonomi daerah di Indonesia. Tidak lain adalah untuk mempertahankan aset-aset negeri paman sam itu di Indonesia. Kita juga tak memungkiri bahwa birokrasi di Indonesia masih terbilang sangat buruk. Mudah sekali untuk dilobi jika ada “pelicinnya”.
Pola pikir juga perlu dibenahi. Seorang anak kost dengan kondisi pas-pasan perlu berpola pikir untuk tidak terlalu konsumtif. Setidak mungkin mereka harus bisa menyiasatinya. Seperti mencuci tak perlu selalu ke laundry, atau kita bisa memasak nasi sendiri dan membeli sayur dan lauknya. Hal yang sama perlu diaplikasikan dalam pola pikir para pejabat daerah dalam melaksanakan kebijakan otonomi daerah.
Selama ini banyak orang yang merasa lebih bangga jika memakai produk luar negeri . Dan merasa minder jika memakai produk dalam negeri. Pemikiran tersebut perlu direformasi. Seharusnya kita bangga menggunakan produk Indonesia. Dan menyingkirkan produk asing sebisa mungkin. Hal tersebut perlu diimplementasikan dalam kebijakan otonomi daerah. Pemerintah daerah dalam menggadakan pembangunan sebaiknya menggunakan tenaga ahli dalam negeri. Selama ini banyak bandara di Indonesia yang arsitek dan penggarapnya menggunakan tenaga ahli asing. Padahal, di Indonesia masih banyak lulusan perguruan tinggi yang mumpuni dan tidak memilki pekerjaan alias nganggur. Ini merupakan PR untuk pemerintah daerah untuk mengatasinya. Apakah kita tidak malu dengan Negara lain. Padahal, kita Negara dengan penduduk 200 juta dan merupakan terbanyak ke 5.
Implementasi kemandirian yang diharapkan dalam dalam otonomi daerah di Indonesia, saya rasa masih kurang mumpuni. Dengan ketidak mampuan pemerintah daerah dalam menciptakan lapangan kerja. Pada dasarnya otonomi daerah memilki tujuan yang relevan. Namun, dengan kebobrokan birokrasi dan mental para birokrat yang perlu di-Instal ulang. Membuat Indonesia memilki pertumbuhan yang tidak merata. Kesenjangan sosial sangat terasa. Kita bisa bayangkan saudara kita di Papua yang masih menggunakan koteka dan makan seadanya atau di NTT dengan kasus busung lapar. Sedangkan di Jakarta gedung tinggi berdiri disana-sini. Akan kah kesenjangan itu akan teratasi dengan kebijakan otonomi daerah ? Akankah Indonesia tetap menjadi negara ketiga didunia?
0 Comments:
Post a Comment
Subscribe to Post Comments [Atom]
<< Home