Thursday, October 29, 2009

Mahasiswa di Tengah Badai Kapitalisme


Jika kita melihat disisi terluar kita sebagai Mahasiswa UGM yang notabene universitas elite dengan kaum kaum borjuis yang tidak sedikit berdomisili disini, dan mobil mobil yang luar biasa yang berjejer dengan indahnya seperti showroom di civitas akademik. Mungkin kah kita melihat sederet manusia yang berada di jalan. Ironis ketika saya melihat sejumlah anak anak mengemis di perempatan Jakal Km 4,Masjid Kampus, bahkan ada yang masuk kampus. Jika kita tengok sejarah , ketika R.A. Kartini berjuang untuk pendidikan untuk kaum pribumi. Dewi Sartika yang melakukan hal yang sama. Dimana kala itu hanya kaum bangsawan saja yang boleh mengeyam pendidikan . Akankah hal yang sama akan terjadi di masa ini, dengan kebijakan pemerintah Indonesia yang berbeda . Namun, memiliki pengekangan yang sama dengan pemerintah Hindia Belanda

Kita baru saja dihadapkan tentang pengesahan RUU BHP menjadi UU BHP (17/12/08) oleh DPR RI. UU BHP menempatkan satuan pendidikan sebagai subjek hukum yang memiliki otonomi luas, akademik maupun non akademik, tanpa khawatir lagi dengan kooptasi birokrasi. Otonomi yang diberikan dikunci oleh Undang-Undang BHP harus dilandasi oleh prinsip-prinsip seperti nirlaba, akuntabilitas, transparan, jaminan mutu dan seterusnya yang memastikan tidak boleh ada komersialisasi dalam BHP. BHP memastikan bahwa komitmen pemerintah untuk membantu lembaga pendidikan tidak pernah berkurang bahkan bertambah besar. Namun dibalik idealisme dan tujuan Undang-Undang BHP itu dibuat, muncul kritik-kritik dari beberapa kalangan yang mengatakan bahwa BHP adalah sebuah produk undang-undang yang digerakkan oleh mitos otonomi. BHP tidak lebih dari sebuah bentuk lepas tangan Negara atas pembiayaan pendidikan nasional. Lembaga Pendidikan akan mengarah pada tujuan pragmatis komersil ketimbang pada tujuan kritis dan blok histories yang mencerdaskan bangsa dan melahirkan putra-putra terbaik yang bisa membaca tanda-tanda zaman. Pada akhirnya BHP melegasisasi suatu kesempatan kepada satuan pendidikan untuk memberi peluang bagi calon mahasiswa berkapasitas intelegensia rendah untuk mengambil kursi mahasiswa lain yang berkualitas tinggi jika mampu memberi imbalan tertentu.

Sungguh ironis ketika cita cita Bapak pendidikan dan Kartini terbelenggu oleh eksekusi legislative. Yang membuat tidak semua kalangan dapat dengan mudah menikmati pendidikan yang berkualitas. Hanya kaum tertentu yang dengan intelegensi pas-pasan tapi memilki kemampuan secara finansial yang mampu menikmati pendidikan yang berkualitas. Dampak konkret yang bisa dirasakan adalah budaya hedonisme di civitas akademika, kualitas pendidikan yang semakin menurun baik dari sisi pembelajar maupun pengajar.

Hal yang semakin terasa sekarang kita mahasiswa yang berlatar belakang menengah kebawah semakin berorientasi sebagai mahasiswa kutu buku. Kuliah cepat, IPK bagus. Banyak LSM sekarang yang menayakan tentang peran Mahasiswa sebagai agen perubahan. Akankah Mahasiswa dengan desakan luar biasa dari pemerintah dengan kebijakannya yang tidak pro tetap mampu eksis sebagai pilar demokrasi bangsa.

Sebagai mahasiswa baru saya cukup penasaran. Dimana darah juang yang selama ini di elung-elungkan. Gambaran mahasiswa yang sangat antusias jika ada hal yang berkaitan tentang kehidupan bangsa ternyata masih cukup jauh. Dan saya hanya mahasiswa yang Fashionable, kepekaan yang masih kurang tanpa memikirkan kanan kiri sebagai efek dari kapitalisme . Seharusnya kita bersyukur masih bisa mengeyam pendidikan yang tinggi dan perwujudan syukur itu adalah dengan berjuang mendesak pemerintah untuk pendidikan gratis atau lebih tepatnya mudah dijangkau. Data dari Komnas Perlindungan Anak 155.965 anak berkeliaran di jalan. Sekitar 2,1 juta menjadi pekerja di bawah umur dan 11,7 juta anak putus sekolah. Mungkin kita cukup nikmat di sini kuliah, dengan ruangan be-AC, gedung yang kokoh. Coba bandingkan dengan mereka yang kurang beruntung. Tinggal di kolong jembatan atau rumah yang sudah reot. Berkelana dengan kejamnya jalanan. Betapa beruntungnya kita dan sudah selayaknya kita mulai berjuang dan tetap teguh untuk menjadi agen perubahan walaupun sudah mulai lekang di diri kita.

Anak Kost Pemerintahan Indonesia (Pandangan Tentang Otonomi Daerah )



Menatap mata untuk ke depan. Menapakkan kaki di Universitas Gadjah Mada dengan jurusan Administrasi Negara. Merupakan hal baru. Kost adalah pilihan paling mudah untuk mahasiswa dari luar kota. Kemandirian merupakan ciri khas dari anak kost. Dengan kondisi finansial yang tergantung latar belakang keluarga. Anak kost berjuang mempertahankan hidup. Mengatur kondisi ekonomi yang efektif dan efisien. Mungkin bagi mahasiswa yang berlatar belakang keluarga menengah ke-atas bukan lah masalah. Dengan yang tidak sedikit dari mereka bergaya hidup hedonisme. Namun, bagi mahasiswa yang berlatar belakang menengah ke bawah. Tentunya perlu strategi untuk mengatasi finansial mereka. Jika mereka bergaya hidup hedonisme maka kekacauan akan datang.

Kali ini saya tidak akan membahas tentang kehidupan anak kost. Tapi saya akan membahas pemerintahan Indonesia dengan kebijakan otonomi daerahnya. Dengan keanekaragaman Indonesia, saya akan mencoba mengulas tentang kebijakan otonomi daerah tanpa bermaksud menyinggung masalah SARA.

Beberapa waktu belakangan semenjak bergulirnya gelombang reformasi, otonomi daerah adalah satu topik sentral yang banyak dibicarakan. Baik oleh kalangan akademis, pelaku ekonomi , bahkan masyarakat awam. Semua memberikan banyak komentar dan pandangan.

Sebenarnya otonomi daerah bukanlah hal yang baru di Indonesia. Sejak awal kemerdekaan sampai sekarang sudah ada lebih dari satu peraturan yang mengatur tentang kebijakan otonomi daerah. UU No 1 tahun 1945 menganut sistem otonomi daerah rumah tangga formil. UU No 22 tahun 1948 memberikan hak otonomi yang seluas-luasnya kepada derah. Selanjutnya UU No 1 tahun 1957 menganut sistem ekonomi ril yang seluas-luasnya. Kemudian UU No 5 tahun 1974 menganut prinsip otonomi daerah yang nyata dan bertanggung jawab. Sedangkan saat ini, dibawah UU No 22 tahun 1999 kita menganut prinsip otonomi daerah yang luas, nyata dan bertanggung jawab. Namun, bagaimanakah penerapannya sekarang ?

Indonesia merupakan negara dengan suku,ras,dan agama yang beragam. Dari timur ke barat , utara ke selatan memilki ciri khas masing-masing dan kondisi bentang alam yang kompleks walaupun kondisi perekonomian Indonesia yang masih lemah . Bahkan satu daerah pun, memiliki logat yang berbeda. Keanekaragaman itu tentunya membuat pola pikir satu sama lainnya berbeda. Dan membuat pemerintah daerah dalam mengamalkan kebijakan otonomi daerah sangat kompleks. Kita bisa melihat Papua yang memiliki kekayaan alam yang sangat melimpah. Tanah digali menghasilkan uang karena didalamnya ribuan mineral terkandung. Usaha kelapa sawit dengan lahan yang tak kalah luas.Namun, bagaimanakah kondisi kesejahteraan masyarakat Papua?

Sumber Daya Manusia sangatlah berperan dalam memainkan daerah. Dengan keterbatasan Indonesia, daerah dituntut untuk kreatif,inovatif, dan mampu mengeluarkan kebijakan yang efisien dan efektif. Seperti anak kost dari kalangan menengah ke bawah yang dituntut mengelola keuangan mereka. Kita harus berkaca bahwa Negara kita memang masih kurang. Karena tak bisa di pungkiri kita bahwa Negara kita masih sangat bergantung pada modal asing. Faktanya dari Prof. Hertz, 100 pemegang terbesar kekayaan di dunia sekarang 49-nya adalah Negara dan 51-nya adalah Negara. Kekayaan Warren Buffet, orang terkaya dunia, jauh di atas APBN Indonesia. Sehingga , benar benar dibutuhkan Sumber Daya Manusia lokal yang mumpuni untuk memajukan daerah masing masing. Berasaskan kemandirian sesuai mana yang diharapkan dalam kebijakan Otonomi Daerah.

Saya akan lebih menegaskan bahwa betapa pentingnya sumber daya manusia sangat dibutuhkan dalam melaksanakan kebijakan otonomi daerah. Kita mungkin sering dengar kalau otak orang Indonesia itu mahal dan otak orang jepang itu murah karena lebih mahal. Orang Indonesia yang malas dan cenderung enak nya saja,dimanfaatkan oleh pihak asing untuk semakin memperkuat imperialisme modern di Indonesia. Contoh baru baru ini Amerika Serikat memberikan kucuran dana untuk otonomi daerah di Indonesia dan sangat mendukung kebijakan otonomi daerah di Indonesia. Tidak lain adalah untuk mempertahankan aset-aset negeri paman sam itu di Indonesia. Kita juga tak memungkiri bahwa birokrasi di Indonesia masih terbilang sangat buruk. Mudah sekali untuk dilobi jika ada “pelicinnya”.

Pola pikir juga perlu dibenahi. Seorang anak kost dengan kondisi pas-pasan perlu berpola pikir untuk tidak terlalu konsumtif. Setidak mungkin mereka harus bisa menyiasatinya. Seperti mencuci tak perlu selalu ke laundry, atau kita bisa memasak nasi sendiri dan membeli sayur dan lauknya. Hal yang sama perlu diaplikasikan dalam pola pikir para pejabat daerah dalam melaksanakan kebijakan otonomi daerah.

Selama ini banyak orang yang merasa lebih bangga jika memakai produk luar negeri . Dan merasa minder jika memakai produk dalam negeri. Pemikiran tersebut perlu direformasi. Seharusnya kita bangga menggunakan produk Indonesia. Dan menyingkirkan produk asing sebisa mungkin. Hal tersebut perlu diimplementasikan dalam kebijakan otonomi daerah. Pemerintah daerah dalam menggadakan pembangunan sebaiknya menggunakan tenaga ahli dalam negeri. Selama ini banyak bandara di Indonesia yang arsitek dan penggarapnya menggunakan tenaga ahli asing. Padahal, di Indonesia masih banyak lulusan perguruan tinggi yang mumpuni dan tidak memilki pekerjaan alias nganggur. Ini merupakan PR untuk pemerintah daerah untuk mengatasinya. Apakah kita tidak malu dengan Negara lain. Padahal, kita Negara dengan penduduk 200 juta dan merupakan terbanyak ke 5.

Implementasi kemandirian yang diharapkan dalam dalam otonomi daerah di Indonesia, saya rasa masih kurang mumpuni. Dengan ketidak mampuan pemerintah daerah dalam menciptakan lapangan kerja. Pada dasarnya otonomi daerah memilki tujuan yang relevan. Namun, dengan kebobrokan birokrasi dan mental para birokrat yang perlu di-Instal ulang. Membuat Indonesia memilki pertumbuhan yang tidak merata. Kesenjangan sosial sangat terasa. Kita bisa bayangkan saudara kita di Papua yang masih menggunakan koteka dan makan seadanya atau di NTT dengan kasus busung lapar. Sedangkan di Jakarta gedung tinggi berdiri disana-sini. Akan kah kesenjangan itu akan teratasi dengan kebijakan otonomi daerah ? Akankah Indonesia tetap menjadi negara ketiga didunia?



Wednesday, October 28, 2009

Indonesia Sudah Merdeka ?





“Kita yang tak punya kepentingan dengan seribu slogan
Dan seribu pengeras suara yang hampa”(Taufik Ismail,1966)*
Kondisi yang digambarkan Taufik Ismail adalah gambaran kondisi Indonesia pada masa itu.Namun, kondisi tersebut masih pekat dengan kondisi kita sekarang. Sebuah bangsa yang hanya berbicara tapi tidak ada sedikitpun perubahan yang berarti dalam cara berpikir. Menyuarakan bermacam-macam masalah tapi kenyataannya nol besar. Tidak ada tindakan yang real . Para petinggi negara hanya memikirkan diri sendiri dan golongan. Mereka datang dengan dalih membela rakyat tapi apa. Rakyat masih menderita dengan kebijakan-kebijakan yang mereka buat. Kebijakan yang kurang melindungi warga negara sebagai warga yang berhak mendapat perlindungan dari negara.

“Dalam setiap kalimat yang berakhiran :
“Duli Tuanku?” “ ( Taufik Ismail,1966)
Penggambaran Taufik Ismail pada masa itu yang berlatar belakangkan kondisi Indonesia yang telah dijajah Belanda selama 350 tahun. Namun, hingga saat ini pun kata-kata tersebut masih pekat dalam diri kita. Beribu-ribu orang bahkan berjuta-juta orang berlomba lomba untuk menjadi budak di luar negeri. Walaupun perbudakan telah dilarang di dunia. Dan saat ini telah timbul perbudakan yang lebih modern yang intinya sama bertujuan untuk mengeksploitasi manusia dengan tidak memperhatikan segi-segi kemanusiaan.

Indonesia yang katanya negara Agraris dan memiliki kekayaan yang melimpah. Negara yang subur dan penuh sumber daya alam. Ternyata belum dapat mengatasi perbudakan. Bahkan, pemerintah memberi fasilitasi dan memberikan kebijakan-kebijakan yang mendukung adanya perbudakan yang lebih modern ini. Sampai-sampai tidak melindungi hak-haknya sebagai warga negara Indonesia yang berhak untuk dilinduingi. Pemerintah hanya memberikan sebuah gelar sebagai Pahlawan Devisa.

Kita sudah 64 tahun merdeka, 100 tahun bangkit, dan 81 tahun bersatu dari sumpah pemuda. Apakah ada perubahan ? Atau hanya ceremonial dan ucapan saja yang terjadi. Namun, masih saja negara kita belum merdeka. Belum merdeka akan perbudakan. Masih saja manusia Indonesia yang lebih suka bekerja diluar negeri dengan gaji yang lebih besar. Lalu kapan mereka bekerja untuk negerinya sendiri? Ironisnya lagi orang lebih bangga menggunakan produk luar negeri daripada produk dalam negeri. Walaupun, kualitas produk Indonesia tak kalah bagus dan harga yang lebih terjangkau.

Pemuda Jepang dapat membuat Handphone ,sedangkan Pemuda Indonesia lebih suka menggunakannya dan tidak berinovasi untuk membuatnya. Kita hanya sebagai konsumen dari produk luar negeri. Kita juga lebih bangga menggunakan produk yang canggih dan bersaing untuk menggunakannya tanpa berinovasi untuk membuatnya. Budaya konsumeris ini kah yang membuat kita seperti ini ?

Sebenarnya apa yang kurang dari kita? Pemerintahkah? Pendidikankah? Atau memang sudah budaya dari nenek moyang. Karena bangsa kita yang katanya menghargai budaya sehingga mati-matian memperjuangkan ketika budaya kita diklaim oleh negara lain. Jika kondisi kita seperti ini sudah merdekakah Indonesia?

*Puisi BUnga teratai