Wednesday, April 14, 2010

PELAYANAN KESEHATAN ( RUMAH SAKIT ) PUBLIK, SWASTA , DAN EFEKTIVITAS PELAYANAN

Abstract

Health is a basic human right. In Act constitutional basis of the republic of Indonesia in 1945 declare that health is an indicator of welfare. State has the responsibility to manage health services. But, Indonesia has not been able to meet fully the responsibility to hold health care. Because of the small amount allocated budget. This affects the quality of services provided both material and non material. In the context of the material found is not current technology, poor facilities, poor quality drugs, and services are expensive. In the context of non-material there is injustice in the treatment of patients, lack of explanation of the time, until the quality of human resources of low worker

On the other hand the concept of private sector to privatize health services in the context of the hospital was so interesting. The purpose of privatization is not for profit but for effectiveness. In concept, the private sector funds by providing facilities that are not provided by the public. While for the general health services carried out cross-subsidies. However, the fact that private hospitals tend to be profit oriented. Even forgetting its social function.

Implementation of the privatization of health services (hospitals) are not suitable in Indonesia. It is caused by several factors. First, it is not in accordance with the constitution of Indonesia.Second, the Indonesian people still have low living standards. Third, the private sector tends to promote competition, not suitable for the Indonesian people who are in learning stage of democracy, it is feared will happen unfair competition. Fourth, entrepreneurial spirit Indonesian citizens still tend to be low so that the privatization of certain people or even controlled by foreign parties. It needs to be done by the government is streamlining the performance of services, the private spirit in providing services to emulate.

Key word : Health service, Public, Private , Hospital



Unduh di sini





NB : digunakan untuk tugas MID semester II mata kuliah Manajemen Publik JIAN FISIPOL UGM

Sunday, April 11, 2010

Energi Alternatif

Tahun 2008 lalu, ditengah melonjaknya harga minyak mentah dunia, pemerintah membuat kebijakan dengan mengkonversi penggunaan minyak tanah ke LPG. Selain cadangan gas di Indonesia lebih banyak dari pada minyak, gas juga lebih ramah lingkungan sekaligus menghemat APBN untuk subsidi BBM. Namun, terjadi kegagalan dalam implementasinya dengan berbagai alasan. Ada dua aspek yang tersirat dalam kasus ini yaitu policy window dalam pencarian energi alternatif karena naiknya harga minyak mentah dunia dan kegagalan implementasi konversi .

1. Proses Policy window terjadi karena terdapat suatu kejadian dalam problem stream atau politics stream dan ketiga aliran (problems, policies dan politics) bisa bertemu bersamaan, sehingga isu-isu bisa menjadi agenda . Isu tentang pengunaan energi alternatif sebenarnya telah lama disuarakan oleh LSM . Terlebih setelah tahun 2003 Indonesia menjadi negara net importer bahan bakar minyak. Namun , isu tersebut baru menjadi agenda kebijakan setelah melonjaknya harga minyak mentah dunia menembus US $ 120 per barel. Pemerintah mau tak mau harus memikirkan ulang kebijakan energi nasional. Akhirnya diputuskan untuk membuat kebijakan konversi minyak tanah ke LPG. Secara ekonomi beban subsidi pemerintah menjadi turun Rp 23 Triliun. Jusuf Kalla selaku wapres menyebutkan program konversi energi tidak ada yang keliru , justru dapat menghemat subsidi BBM di APBN sekitar Rp 30 Triliun dan investasi hanya Rp 15 Triliun.

Faktor-faktor yang memperngaruhi kebijakan tersebut adalah.

a. Kenaikan harga minyak mentah dunia . Hal ini di tempatkan sebagai problems stream yang menjadi pelatuk dari proses konversi minyak tanah ke gas.

b. Cadangan minyak bumi Indonesia yang semakin menipis ditambah Indonesia yang menjadi negara net importer bahan bakar minyak sehingga perlu solusi dari masalah tersebut.

c. Kebijakan dumping terhadap BBM oleh pemerintah. Padahal jelas secara kualitas dan kuantitas produk BBM Indonesia terbilang rendah dan mulai menipis

2. Konversi minyak tanah ke LPG pada dasarnya logis dan tidak keliru tapi dilapangan terjadi banyak sekali hal yang tidak di harapkan. Lau apa masalahnya?

1. Kisruh konversi gas ini menunjukkan fakta bahwa pemerintah tidak memiliki perencanaan dan implementasi yang baik. Program yang baik semestinya diikuti dengan perencanaan serta implementasi yang baik sehingga bisa memperkecil distorsi.

2. Kurangnya sosialisasi dari pemerintah akan program konversi tersebut.

3. Bukan hal yang mudah ketika manusia harus mengubah kebiasan hidupnya. Hal tersebut sama dengan kasus ini. Masyarakat sudah terbiasa membeli minyak tanah secara eceran. Sedangkan elpiji harus membeli 3 Kg seharga Rp 14.000 hingga Rp 15.000.

4. Ditemukannya kasus kompor gas yang rusak dan tabung yang bocor membuat warga skeptis dan memilih tetap memakai minyak tanah.

5. Para pemangku kepentingan yang terganggu dengan program konversi ini mencoba menggagalkan program tersebut. Karena secara langsung program tersebut merampas kepentinga mereka.

Kebijakan energi layaknya tetap menjadi agenda kedepan. Mengapa ? karena energi yang digunakan Indonesia saat ini lebih banyak ke sumber minyak. Padahal cadangan minyak Indonesia semakin menipis. Ada dua perspektif kebijakan energi yang dapat diambil yaitu :

1. Perspektif produksi energi alternatif

Kebijakan energi alternatif tetap harus di agendakan. Karena tidak mungkin selamanya rakyat Indonesia bergantung pada minyak yang notabene energi non-renewable . Langkah yang paling utama adalah mengkonversi penggunaan energi dari minyak dengan energi yang bukan dari minyak Ada beberapa alternatif energi yang dapat diproduksi oleh Indonesia seperti batu bara, gas, angin, nuklir, solar cell, bio gas ,panas bumi dll. Sayang pemerintah tidak mampu mengelolanya dalam segi produksi maupun teknologi dan akhirnya di kelola pihak swasta asing.

Batubara misalnya, pada tahun 2010 saja dapat menghasilkan 280 juta ton tapi jatah untuk Indonesia hanya 68,5 juta selebihnya di ekspor oleh pihak swasta[1]. Andaikan keseluruhan di konsumsi oleh negara sendiri, pasti tidak ada kasus pemadaman bergilir yang dilakukan PLN. Di sektor panas bumi Indonesia juga memiliki potensial 30.000 Mwe dan merupakan terbesar di dunia. Namun, yang diolah baru 1.189 Mwe atau sekitar 4 persen dari jumlah keseluruhan. Andaikan energi panas bumi dapat didistribusikan ke rumah-rumah tentunya tidak usah khawatir dengan berkurangnya cadangan minyak Indonesia.

Kebijakan yang mestinya diambil pemerintah adalah menasionalisasi perusahaan tambang agar hasilnya tidak lari keluar negeri dan memanfaatkannya untuk negeri sendiri. Selain itu, hal yang harus dilakukan adalah memaksimalkan potensi energi yang ada . Misalnya energi panas bumi. Dengan sumber energi panas bumi terbesar di dunia idealnya Indonesia tidak mengalami krisis energi dan tidak perlu khawatir dengan isu krisis minyak.

Masih banyak program produksi energi alternatif lainnya yang masih dapat dilakukan. Misalnya membuat kincir angin di pantai yang ada di Indonesia sebagai pembangkit listrik seperti di negeri Belanda . Menggunakan biofuel dari tumbuhan jarak sebagai pengganti BBM. Membuat reactor nuklir yang aman dengan mengadakan sumber daya manusia dalam negeri yang kompeten. Tentunya semua program harus dengan konsep yang matang.

2. Perspektif konsumsi energi minyak

Sebenarnya penduduk Indonesia tidak perlu khawatir dengan cadangan minyak Indonesia . Cadangan minyak Indonesia disebutkan sekitar 4,2 miliar barel atau sama dengan untuk penggunaan selama 10 tahun. Padahal sebenarnya ada 55 miliar barel yang belum tereksploitasi[2]. Jika dihitung mungkin masih bisa digunakan sampai sekitar 130 tahun mendatang. Akan tetapi untuk mengeksploitasi 55 miliar barel tersebut memerlukan teknologi yang canggih . Pemerintah tidak mampu untuk mengadakan teknologi tersebut. Oleh karena itu, pemerintah mengadakan kampanye untuk hemat energi dan konversi ke energi alternatif. Mungkin kebijakan yang paling realistis untuk dilakukan adalah menghemat dalam konsumsi bahan bakar minyak dengan cara mengurangi mobilitas kendaraan yang menggunakan bahan bakar minyak, memperbanyak transportasi massa. Dalam jangka panjang pemerinta perlu juga memikirkan untuk mengekspoitasi cadangan minyak yang belum terjamah.



[1] Kompas , 1 februari 2010

[2] Sama dengan no 1

Thursday, April 8, 2010

Makelar Kasus antara Budaya dan Warisan Kolonial

Sudah tidak asing lagi di telinga kita ketika mendengar kata makelar kasus (Markus) terutama di tubuh penegak hukum. Berbagai kasus Markus yang mencuat di permukaan publik seperti kasus jaksa Urip Sumoharjo, Anggodo widjojo, bahkan yang terbaru dari kesaksian Susno Duadji tentang markus ditubuh Polri merupakan santapan sehari-hari kita yang mau tak mau harus di santap. Betapa membudayanya makelar kasus di ranah hukum Indonesia . Dan sangat sulit sekali mengubah budaya yang telah mengakar dari jaman kolonialisme. Saya teringat dengan kebijakan pemerintah terkait konversi minyak tanah ke gas di tahun 2008. Di sana pemerintah berhadapan dengan kultur masyarakat yang telah menggunakan bahan bakar minyak dari jaman ‘tidak enak’. Seketika pemerintah menggantinya dengan gas. Alhasil, impelementasi kebijakan tersebut mengalami kegagalan yang cukup serius. Sama halnya dengan markus yang dalam ranah korupsi tergolong bribery corruption atau korupsi penyuapan . Walaupun pemerintah telah membentuk banyak badan yang menangani korupsi tapi dalam hal ini dihadapkan dengan sebuah budaya. Bukan hal mudah bagi siapapun untuk menjadi agen perubahan terhadap sebuah budaya. Tentunya butuh proses yang lama.

Jika ditengok dari sisi budaya , sebenarnya kebiasaan suap-menyuap sudah ada dari hal yang paling kecil. Banyak masyarakat yang masih tradisional dan mengembangkan pemikiran irasional melakukan budaya suap-menyuap. Contoh kecil saja memberikan sesajen kepada pohon atau objek tertentu yang dianggap mempunyai kekuatan dengan dalih agar roh atau entah apalah yang mereka percayai ada di objek tersebut tidak mengganggu sehingga mempermudah urusan. Berangkat dari kebiasaan tersebut, saya rasa pas jika kebudayan menjadi salah satu faktor dari terjadinya korupsi, suap-menyuap, makelar kasus.

Korupsi sendiri bukanlah hal yang baru dalam kehidupan di Indonesia. Kebiasaan tersebut ada semenjak jaman kolonial . Korupsi begitu tumbuh subur terlebih pemerintah Hindia Belanda menerapkan model birokrasi Beambsteanstaat . Dimana posisi pamong praja bertindak sebagai pangreh praja dan negara lah yang dilayani bukan yang melayani. Praktis pihak pemegang otoritas akan cenderung corrupt . Seperti kata Lord Acton “ power tend to corrupt, absolute power absolute corrupt”. Hal-hal semacam inilah yang akhirnya melekat di kehidupan bangsa Indonesia. Beberapa kasus di jaman kolonial yang memperlihatkan kasus korupsi dan markus adalah culture procentent dalam tanam paksa dimana banyak sekali penyimpangan yang dilakukan pribumi sehingga merugikan rakyat kecil. Contoh lain misalnya setiap pelanggaran hukum yang dilakukan dari orang belanda yang pro hindia belanda ,ada semacam diskriminasi entah apa yang bermain disana sedangkan jika dilakukan pribumi jelas akan mendapat hukuman yang berat. Wajarlah kalau markus dalam skope kecil dari korupsi boleh dikatakan sebuah warisan kolonial .

Makelar kasus bukan hanya meresahkan kehidupan bangsa tapi membuat ketimpangan hukum di Indonesia dan membuat martabat hukum sendiri semakin merosot. Ketika ‘seorang’ terjerat hukum , asumsi mereka mudah tinggal bayar selesai. Nilai-nilai pragmatis tertanam dengan subur di konsepsi ini. Disisi lain , mereka yang tak mampu ‘membayar’ skeptis terhadap kasusnya dapat ditangani dengan baik. Tidak ada harapan kasusnya mendapat keringanan atau justru vonis bebas. Seakan berserah diri dan bersiap-siap masuk bui untuk segala konsekuensi penuh akan apa yang mereka buat. Hukum memang perlu di tegakkan setegak-tegaknya tapi harus mencakup semua kalangan. Jangan sampai ‘modal’ ikut campur tangan dalam ranah hukum. Betapa rendahnya hukum ketika tangan dan semangat kapitalis ambil bagian dalam ranah penegakan hukum.

Walaupun makelar kasus yang notabene scope kecil dari korupsi adalah berangkat dari budaya sendiri dan warisan kolonial, layaknya penegak hukum harus tetap idealis dalam menegakkan hukum .