Thursday, April 8, 2010

Makelar Kasus antara Budaya dan Warisan Kolonial

Sudah tidak asing lagi di telinga kita ketika mendengar kata makelar kasus (Markus) terutama di tubuh penegak hukum. Berbagai kasus Markus yang mencuat di permukaan publik seperti kasus jaksa Urip Sumoharjo, Anggodo widjojo, bahkan yang terbaru dari kesaksian Susno Duadji tentang markus ditubuh Polri merupakan santapan sehari-hari kita yang mau tak mau harus di santap. Betapa membudayanya makelar kasus di ranah hukum Indonesia . Dan sangat sulit sekali mengubah budaya yang telah mengakar dari jaman kolonialisme. Saya teringat dengan kebijakan pemerintah terkait konversi minyak tanah ke gas di tahun 2008. Di sana pemerintah berhadapan dengan kultur masyarakat yang telah menggunakan bahan bakar minyak dari jaman ‘tidak enak’. Seketika pemerintah menggantinya dengan gas. Alhasil, impelementasi kebijakan tersebut mengalami kegagalan yang cukup serius. Sama halnya dengan markus yang dalam ranah korupsi tergolong bribery corruption atau korupsi penyuapan . Walaupun pemerintah telah membentuk banyak badan yang menangani korupsi tapi dalam hal ini dihadapkan dengan sebuah budaya. Bukan hal mudah bagi siapapun untuk menjadi agen perubahan terhadap sebuah budaya. Tentunya butuh proses yang lama.

Jika ditengok dari sisi budaya , sebenarnya kebiasaan suap-menyuap sudah ada dari hal yang paling kecil. Banyak masyarakat yang masih tradisional dan mengembangkan pemikiran irasional melakukan budaya suap-menyuap. Contoh kecil saja memberikan sesajen kepada pohon atau objek tertentu yang dianggap mempunyai kekuatan dengan dalih agar roh atau entah apalah yang mereka percayai ada di objek tersebut tidak mengganggu sehingga mempermudah urusan. Berangkat dari kebiasaan tersebut, saya rasa pas jika kebudayan menjadi salah satu faktor dari terjadinya korupsi, suap-menyuap, makelar kasus.

Korupsi sendiri bukanlah hal yang baru dalam kehidupan di Indonesia. Kebiasaan tersebut ada semenjak jaman kolonial . Korupsi begitu tumbuh subur terlebih pemerintah Hindia Belanda menerapkan model birokrasi Beambsteanstaat . Dimana posisi pamong praja bertindak sebagai pangreh praja dan negara lah yang dilayani bukan yang melayani. Praktis pihak pemegang otoritas akan cenderung corrupt . Seperti kata Lord Acton “ power tend to corrupt, absolute power absolute corrupt”. Hal-hal semacam inilah yang akhirnya melekat di kehidupan bangsa Indonesia. Beberapa kasus di jaman kolonial yang memperlihatkan kasus korupsi dan markus adalah culture procentent dalam tanam paksa dimana banyak sekali penyimpangan yang dilakukan pribumi sehingga merugikan rakyat kecil. Contoh lain misalnya setiap pelanggaran hukum yang dilakukan dari orang belanda yang pro hindia belanda ,ada semacam diskriminasi entah apa yang bermain disana sedangkan jika dilakukan pribumi jelas akan mendapat hukuman yang berat. Wajarlah kalau markus dalam skope kecil dari korupsi boleh dikatakan sebuah warisan kolonial .

Makelar kasus bukan hanya meresahkan kehidupan bangsa tapi membuat ketimpangan hukum di Indonesia dan membuat martabat hukum sendiri semakin merosot. Ketika ‘seorang’ terjerat hukum , asumsi mereka mudah tinggal bayar selesai. Nilai-nilai pragmatis tertanam dengan subur di konsepsi ini. Disisi lain , mereka yang tak mampu ‘membayar’ skeptis terhadap kasusnya dapat ditangani dengan baik. Tidak ada harapan kasusnya mendapat keringanan atau justru vonis bebas. Seakan berserah diri dan bersiap-siap masuk bui untuk segala konsekuensi penuh akan apa yang mereka buat. Hukum memang perlu di tegakkan setegak-tegaknya tapi harus mencakup semua kalangan. Jangan sampai ‘modal’ ikut campur tangan dalam ranah hukum. Betapa rendahnya hukum ketika tangan dan semangat kapitalis ambil bagian dalam ranah penegakan hukum.

Walaupun makelar kasus yang notabene scope kecil dari korupsi adalah berangkat dari budaya sendiri dan warisan kolonial, layaknya penegak hukum harus tetap idealis dalam menegakkan hukum .



0 Comments:

Post a Comment

Subscribe to Post Comments [Atom]

<< Home